Guru PAI dan Tuntutan Digital Native

Guru PAI dan Tuntutan Digital Native

Iseng pagi ini setelah upacara hari Sumpah Pemuda, saya mengidentifikasi platform atau aplikasi pembelajaran agama Islam. Saya hitung dari platform yang bisa di identifikasi menghasilkan data sebagai berikut: aplikasi tilawat al Quran sebanyak 16 buah; aplikasi tafseer al Quran sebanyak 162 buah; aplikasi hadist sebanyak 120 buah; aplikasi untuk fiqh sebanyak 146 buah. Tentu jumlah tersebut masih dinamis, karena belum termasuk aplikasi yang beririsan diantara bidang materi PAI. Dalam hal ini termasuk yang belum teridentifikasi adalah aplikasi yang khusus bidang aqidah saja, bidang akhlak, bidang sirrah nabawiyah.

Mencermati data tersebut, semakin menunjukan bahwa ruang digital saat ini menjadi entitas dan realitas tersendiri serta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari matra pendidikan yang selama ini difahami yaitu; matra pendidikan di rumah, matra pendidikan di sekolah, matra pendidikan sosial masyarakat dan matra pendidikan digital, sebagai matra tambahan yang mulai disadari keberadaannya dalam dunia pendidikan di abad 21 ini.

Jika kita mencermati jam interaksi siswa dengan empat matra tersebut, nampak menunjukan pergeseran yang menuntut adanya cara pandang berbeda tentang pendidikan dan pengawasan anak didik. Kita harus mulai menelusuri, berapa anak anak menghabiskan waktu dengan interaksi otentik bersama orang tuanya di rumah; berapa mereka menghabiskan waktu di sekolah; dan berapa mereka menghabiskan waktu dengan teman teman di lingkungan sosialnya. Jika interaksi bersama tiga matra itu tidak otentik dan tidak real, karena mereka masih membawa gadget, maka boleh jadi 86.400 detik waktu yang mereka miliki dalam sehari, sebanyak 25-40% habis dengan dunia digital. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian tahun 2024 bahwa Indonesia menjadi salah satu negara dengan kecanduan HP tertinggi di dunia, dengan durasi setiap hari menghabiskan 5 sd 6 jam.

Anak anak kita saat ini adalah anak anak yang lahir di era digital native. Digital native adalah istilah untuk menggambarkan generasi atau individu yang lahir dan tumbuh di era digital, sehingga terpapar dengan teknologi secara terus menerus sejak kecil. Mereka sangat akrab dengan teknologi digital, komputer, dan internet, serta sudah terbiasa menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa ciri-ciri generasi digital native, di antaranya:
1. Multitasking, yaitu dapat mengerjakan dua atau lebih pekerjaan secara bersamaan.
2. Dapat memperoleh informasi dan pengetahuan dengan cepat.
3. Mudah menyesuaikan diri dengan perubahan.
4. Mengharapkan respons secara instan dari orang lain.

Akses anak anak kita terhadap dunia internet sejauh yang kita amati belum memiliki orientasi yang jelas. Mereka mengakses internet hanya untuk sekedar fun berupa main game, whatsapp, tiktok yang kebanyakan masih sporadis serta cenderung adiktif yang melahirkan prilaku negatif karena ketidakmampuan memilih konten yang bermanfaat.

Dalam hal ini akademisi dan pendidik dituntut mengembangkan pendekatan pendidikan yang bisa menggiring orientasi anak anak saat mengakses internet lebih bermakna. Walau bagaimanapun internet saat ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam realitas kehidupan anak anak dan orang dewasa. Mungkin perlu dikembangkan disiplin ilmu digital parentologi, digital pedagogy, digital andragogy dan digital gerontology. Disiplin ilmu ini menekankan pada pengembangan soft skill khusus agar anak anak, remaja, orang dewasa dan aki-aki mampu mengambil manfaat dari akses internet untuk pengembangan intelektual, moral sosial, emosional spiritual, bahkan keterampilan hidup mereka untuk meningkatkan derajat ekonomi dan kesejahteraan.

Tentu pengembangan ilmu ilmu tersebut berangkat dari semangat untuk mengimbangi generasi digital native dengan seluruh kecenderungannya. Hal ini dapat dimulai dengan mengembangkan digital imigrant. Digital imigrant adalah orang-orang yang tidak terpapar teknologi sejak kecil namun memiliki pengalaman dalam penggunaan teknologi. Digital immigrant secara umum adalah generasi X yang menerima dan beradaptasi dengan penggunaan teknologi di kehidupan sehari-hari. Mereka tidak memiliki rasa takut atau ragu terhadap teknologi digital. Jadi bisa dikatakan, digital immigrant adalah orang-orang yang berusaha belajar teknologi meskipun baru mengenal teknologi beberapa masa setelah ia lahir.

Guru PAI kebanyakan adalah generasi yang masuk kepada kelompok digital imigrant. Mereka dipaksa memahami teknologi informasi yang sedang berkembang untuk mengimbangi murid muridnya yang lahir sebagai kelompok digital native. Guru PAI harus mengembangan pendekatan religious digital parenting, relugious digital pedagogy, religious digital andragogy dan religious digital gerontology. Dengan pendekatan ini guru PAI bersemangat memaksimalkan gadget yang dimiliki peserta didik dan masyarakat dengan menekankan visi intelektual pada kegiatan akses, visi pengembangan moral sosial pada kegiatan akses dan visi pengembangan emosional religious pada kegiatan akses. Oleh sebab itu sosialisasi, pemilihan dan pengenalan platform keagamaan Islam yang sangat banyak, menjadi tugas lain dari sekian tugas guru PAI sebagai kelompok digital imigrant berhadapan dengan kelompok digital native. Semangat Guru PAI.

28 Oktober 2024
Al Faqir,

Muslihudin

Scroll to Top
×

Assalamu'alaikum!

Selamat bergabung Para Pejuang di Cyber Islamic University (UINSSC), silahkan hubungi kami lewat WhatsApp

×